JAYAPURA, iNews.id - Perampingan pasukan di tubuh TNI pernah terjadi pada 1980-an, termasuk di jajaran Kopassus. Para prajurit elite ini menjalani seleksi ketat untuk memastikan siapa yang pantas bertahan di satuan baret merah.
Cerita ini dialami Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan. Saat itu dia menjabat sebagai komandan pertama Grup 3 Para Komando. Dia juga lah yang menentang keras perampingan ini.
Gagasan perampingan ini diputuskan oleh TNI (Purn) Benny Moerdani, yang menjabat sebagai Panglima ABRI waktu itu. Namun Benny menolak, dia meyakinkan perampingan malah akan berakibat pada pemborosan untuk latihan.
"Jadi, Bapak kalau nggak punya duit, jangan dikecilkan," kata Sintong saat itu, dikutip iNews.id dari buku Kopassus untuk Indonesia, Profesionalisme Prajurit Kopassus, Kamis (25/11/2021).
Dia mengatakan kalau jumlah prajurit yang sedikit berarti harus mengadakan latihan yang lebih banyak agar dapat menyamai kekuatan prajurit berjumlah besar.
Argumen Sintong langsung dipatahkan. Jenderal TNI (Purn) Benny Moerdani menjawab tegas, perampingan tetap dilakukan. Model perampingan organisasi dilakukan dengan cara seleksi kepada seluruh prajurit Kopassus, termasuk grupnya.
Ketika itu, seleksi dilaksanakan di Sukabumi pada 1986. Anggota Kopassus kembali menjalani ujian di medan berat untuk diukur kemampuan fisik, mental, dan kecerdasannya. Tes dilakukan satu-satu dan didampingi psikiater. Latihan patroli malam hari juga dilakukan.
Hari pertama tes, hasilnya masih bagus. Hari kedua, mulai ada prajurit yang mengantuk. Hari ketiga bahkan lebih banyak lagi yang mengantuk.
Pada hari ketiga itu, prajurit Kopassus yang diseleksi diminta tidur sendiri-sendiri dan diberi tahu akan kembali berangkat pukul 03.00 dini hari.
Hasilnya ada prajurit yang bangun, tapi ada juga yang terus tidur seharian. Tes ini untuk mengukur tanggung jawab para prajurit. Namun hanya sekitar 2.500 orang yang lulus dari sekitar 6.400 prajurit yang melewati tes selama sepekan.
Para prajurit yang lulus tentu saja tetap boleh mengenakan baret merah dan tinggal di Jakarta. Sementara yang tidak lulus ditempatkan dalam kesatuan baret hijau Kostrad.
Sintong mengaku ingin menangis karena ternyata banyak prajurit Kopassus harus keluar. "Saya rasanya mau menangis karena banyak orang yang baru masuk Kopassus harus keluar," katanya.
Editor : Andi Mohammad Ikhbal
Artikel Terkait