PAPUA, iNews.id - Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah 78 tahun merdeka. Negara ini telah melalui perjalanan panjang dalam menyatukan beragam suku dan ras yang menghuni ribuan pulau menjadi satu bangsa, Indonesia.
Negeri ini mengalami berbagai cobaan dan ancaman perpecahan. Gerakan separatis dan pemberontakan berdarah berkali-kali terjadi di Indonesia sejak merdeka hingga sekarang.
Sebut saja, pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang melahirkan pemerintah tandingan pada 15 Februari 1958 di Sumatera Barat.
Namun sebelum PRRI, muncul gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dideklarasikan oleh pemimpin militer dan sipil Indonesia bagian timur pada 2 Maret 1957.
Pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi dipicu oleh kekecewaan terhadap pemerintah pusat yang dianggap tak memperhatikan nasib rakyat di daerah.
PRRI dan Permesta kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap lebih mengistimewakan rakyat di Pulau Jawa dibanding daerah lain. Padahal perekonomian Indonesia lebih banyak ditopang oleh kekayaan alam daerah di luar Pulau Jawa.
Jauh sebelum PRRI dan Permesta, terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun pada 18 September 1948. Pemberontakan ini dilakukan oleh PKI dengan organisasi sayap Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin Musso. Pemberontakan PKI dapat ditumpas Oktober 1948 ditandai dengan terbunuhnya Musso.
Satu tahun kemudian, muncul pemberontakan Darul Islam (DI) atau Negara Islam. Gerakan ini muncul di Desa Cisampang, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya yang dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Untuk mewujudkan cita-cita mendirikan negara Islam, Kartosuwirjo membantuk Tentara Islam Indonesia (TII). Sehingga gerakan ini disebut DI/TII. Berdasarkan kesaksian masyarakat di Jawa Barat, kelompok DI/TII sangat brutal saat menyerang dan melakukan teror.
Mereka tidak peduli yang diserang rakyat jelata atau aparat negara. Kekejian DI/TII membuat mayoritas masyarakat Jawa Barat tak mendukung kelompok ini. Ribuan rakyat Jawa Barat tewas di tangan DI/TII.
Tak hanya di Jawa Barat, gerakan DI/TII juga menyebar ke Sumatera, terutama Aceh dan Sulawesi. Akhirnya, DI/TII berhasil ditumpas oleh pasukan Kodam Siliwangi.
Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini terpecah. Namun doktrin DI/TII masih eksis secara diam-diam sampai saat ini.
Tiga tahun kemudian, terjadi kudeta Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30 S/PKI) pada 1965. Akibat peristiwa ini, 6 jenderal dan 1 perwira pertama TNI gugur.
Sedangkan jutaaan anggota PKI di seluruh Indonesia tewas dieksekusi dan dan dipenjara. Ada juga anggota PKI yang diasingkan ke bebarapa daerah, terutama Pulau Buru.
Walaupun Indonesia telah 78 tahun merdeka, namun pemberontakan, gerakan separatis, dan upaya memecah belah bangsa masih saja terjadi. Salah satu gerakan separatis yang masih merongrong kedaulatan NKRI adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Lantas bagaimana sejarah dan tujuan organisasi ini? Dihimpun dari berbagai sumber berikut sejarah dan tujuan OPM berdiri.
Sejarah Organisasi Papua Merdeka
OPM tidak terlepas dari sejarah bergabungnya Papua ke dalam bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1963. Sementara itu, Papua masih diincar oleh Belanda karena memiliki kekayaan alam melimpah, terutama emas, perak, dan tembaga.
Belanda bahkan mempersiapkan kebebasan bagi Papua untuk menentukan nasib sendiri dengan mendorong persiapan-persiapan alat dan simbol kelengkapan negara baru yang disebut Papua Barat. Pada 1 Desember 1961, Bintang Kejora sebagai bendera nasional Papua Barat dikibarkan sejajar dengan bendera Belanda, dan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua dinyanyikan di hadapan Kerajaan Belanda.
Upaya tersebut direspons oleh Republik Indonesia dengan operasi pembebasan Irian Barat atau Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) yang berakhir dengan Perjanjian New York pada 1962.
Papua merupakan wilayah satu-satunya di Indonesia yang kembali menjadi bagian dari Republik Indonesia melalui Perjanjian New York yang ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia pada 15 Agustus 1962.
Benih OPM muncul setelah Operasi Trikora dan Perjanjian New York. Masyarakat pro kemerdekaan Papua menyatakan, bahwa Indonesia merebut kemerdekaan Papua. OPM mulai digagas pada 1963 dan secara resmi terbentuk pada 1965 di Ayamaru.
Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada 1971. Seth Jafeth Rumkorem dan Jacob Prai mendeklarasikan Republik Papua Barat dan merancang konstitusi.
Jauh sebelumnya, organisasi ini awalnya merupakan gerakan spiritual kargoisme, kelompok kebatinan yang menggabungkan kepercayaan adat dan Kristen yang dibentuk oleh Kepala Distrik Demta, Aser Demotekay.
Walau begitu pihak Aser kooperatif dengan pemerintah Indonesia dan melarang kekerasan. Namun pengikut Aser, Jacob Prai melanjutkan gerakan tersebut dengan kekerasan, perlawanan bersenjata.
Kelompok kedua berasal dari Manokwari pada 1964 yang dipimpin oleh Terianus Aronggear. Dia mendirikan 'Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat'. Organisasi ini juga bergerak secara klandestin.
Belakangan, organisasi Terianus dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kelompok ini mengirim dokumen ke PBB meminta peninjauan kembali persetujuan New York yang juga berisi rancangan susunan kabinet Papua Barat.
Dalam kabinet itu, Markus Kaisiepo sebagai Presiden, Nicolaas Jouwe Wakil Presiden, Terianus Aronggeari Menteri Luar Negeri, dan Permenas Ferry Awom sebagai Panglima Perang.
Berdasarkan pengakuan Nicolas Jouwe, ada campur tangan Belanda dalam pelatihan pemuda Papua yang kemudian mendirikan OPM.
Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi dua faksi, yaitu, Pembela Kebenaran (Pemka) yang dipimpin Jacob Prai dan TPN yang dipimpin Seth Jafeth Rumkorem.
Tujuan OPM Berdiri
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan separatis yang didirikan di 6 provinsi di Papua dengan tujuan memerdekakan Papua dan memisahkan diri dari NKRI.
Gerakan seperatis dengan bendera Bintang Kejora ini terdiri atas tiga elemen kelompok berbeda namun dengan satu tujuan mendirikan negara Papua.
Kelompok pertama, bergerak melakukan aksi demonstrasi dan protes. Mereka menimba ilmu di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Di Kota Bandung, mereka beberapa kali menggelar aksi di depan Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika.
Sekelompok kecil pemimpin berbasis di luar negeri, terutama Australia dan Belanda. Mereka menyuarakan isu-isu di Papua sambil mencari dukungan internasional terhadap gerakan OPM.
Sedangkan kelompok ketiga mengangkat senjata, melakukan terror terhadap masyarakat Papua dan menyerang personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Terdapat tiga kelompok bersenjata di bawah OPM. Pertama, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atau West Papua National Liberation Army yang dipimpin oleh Goliath Tabuni.
Kedua, Tentara Revolusi West Papua (TRWP) atau West Papua Revolutionary Army dipimpin oleh Mathias Wenda. Ketiga, Tentara Nasional Papua Barat (TNPB) atau West Papua National Army dipimpin Fernando Worobay.
Telah banyak rakyat Papua yang tewas akibat serangan kelompok ini. Karena itu, Pemerintah Indonesia menyebut para pelaku sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), dan Kelompok Separatis Teroris Papua (KSTP).
Selain aksi teror, kelompok bersenjata OPM kerap menggelar upacara pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Desember setiap tahun. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari kemerdekaan Papua.
Anggota OPM rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari separatis Papua. Seperti lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua dan lambang negara.
Pada 1982, Dewan Revolusi OPM atau OPM Revolution Council (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi internasional.
OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.
Aksi Teror
KKB Papua menebar teror sejak 1976 sampai saat ini. Mereka bukan hanya menyerang TNI dan Polri, tetapi juga warga sipil baik asli Papua maupun pendatang. Telah banyak nyawa melayang akibat serangan KKB. Belum lama ini, KKB menyerang personel Brimob di Distrik Titigi, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Rabu (22/11/2023).
Akibat kontak tembak itu, 2 anggota Brimob Polda NTT, Bharada Bonifasius Jawa dan Bharatu Rani Yohanes Seran terkena tembakan. Bharada Bonfasius gugur, sedangkan Bharatu Rani Yohanes Seran luka tembak di kaki kiri.
Selain penyerangan bersenjata, KKB juga melakukan penculikan. Sampai saat ini, pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens, masih ditawan KKB. Philip, warga negara Selandia Baru itu, diculik sejak 7 Februari 2023.
OPM juga meneror perusahaan tambang PT Freeport Indonesia sejak 1976. Saat itu, OPM mengirimkan surat berisi ancaman kepada pejabat Freeport Indonesia. Mereka meminta bantuan untuk melakukan pemberontakan.
Tetapi PT Freeport Indonesia menolak bekerja sama dengan OPM. OPM pun melakukan teror sejak 23 Juli sampai 7 September 1977. Mereka memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar.
Kemudian, memutus kabel telepon dan listrik, membakar gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport mengalami mencapai 123.871 Dolar AS.
Pada 1984, OPM melancarkan serangan ke Jayapura, ibu kota provinsi dan kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia.
Serangan ini diredam militer Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakanlebih besar. Kegagalan ini menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.
Pada 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM kembali aktif di daerah dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau simpatisan OPM. Pada 18 Februari 1986, sebuah surat yang ditandatangani pimpinan OPM yang memperingatkan pada Rabu 19 Februari, akan turun hujan di Tembagapura.
Sekitar pukul 22.00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar dengan gergaji. Akibatnya, banyak slurry, bijih tembaga, perak, emas, dan bahan bakar diesel terbuang.
Selain itu, mereka membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi kejadian. Pada 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan membakar ban.
Kru teknisi diserang OPM saat mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi dan militer. Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan sejumlah orang Eropa dan Indonesia. Pertama dari grup peneliti. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Pada Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air di Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.
Pada 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Polri menduga penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap anggota Polri memaksa pemerintah menerjunkan lebih banyak personel di Papua.
Pada 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM menembak mati warga sipil. Korban adalah transmigran asal Sumatera Barat.
Pada 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang mengakibatkan 3 warga sipil dan 1 anggota TNI tewas. Sedangkan 4 orang lain di dalam bus, cedera.
Pada 8 April 2012, OPM menyerang pesawat sipil Trigana Air setelah mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima anggota OPM bersenjata melepaskan tembakan yang mengakibatkan pesawat kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan.
Satu orang tewas, yaitu Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher. Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru.
Yanti Korwa, seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanan dan anaknya yang berusia 4 tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kiri.
Kemudian, 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin diserang OPM mengakibatkan seorang warga sipil tewas. Korban adalah kepala desa setempat yang ditembak di bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca.
Pada 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di dada.
Editor : Agus Warsudi
gerakan separatis gerakan papua merdeka organisasi papua merdeka papua merdeka kelompok kriminal bersenjata kelompok kriminal bersenjata papua kelompok kriminal separatis bersenjata teroris bersenjata
Artikel Terkait