WAISAI, iNews.id – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan penemuan populasi baru ikan raja laut yang merupakan spesies ikan purba atau ikan coelacanth di Perairan Raja Ampat, Papua Barat.
Sekretaris Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, Agus Darmawan dalam jumpa pers di Aula Wayag, Kantor Bupati Raja Ampat, Rabu (14/11/2018), mengatakan, ikan coelacanth itu ditemukan secara tidak sengaja pada 1 Juli 2018 oleh Kopda Marinir Santoso, anggota Klub Mancing Mania Kota Sorong dan anggota Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan (Yonmarhanlan) XIV Sorong. Ikan tersebut tertangkap pancing di perairan Waigeo.
Pada 2 Juli 2018, Santoso mem-posting foto ikan tersebut di laman Facebook-nya untuk menanyakan jenis dari ikan tersebut sekaligus menanyakan instansi terkait yang dapat dihubungi untuk melaporkan penemuan tersebut.
“Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong yang mengetahui informasi itu menduga ikan tersebut sebagai ikan coelacanth, didasarkan pada bentuk morfologinya. Selanjutnya pihak Loka PSPL Sorong menugaskan tim untuk bertemu dengan Santoso,” paparnya.
Sayangnya spesimen ini telah di-fillet dan sebagian besar telah dikonsumsi sehingga tidak menyisakan spesimen morfologi utuh untuk pengkajian morfologi dan meristik. Namun demikian, jaringan tissue genetiknya berhasil didapatkan dan dianalisis dengan pendekatan molekuler. Saintis juga mendapatkan foto spesimen sesaat setelah tertangkap.
Untuk memastikan jenis ikan yang diduga coelacanth tersebut, Loka PSPL Sorong berkoordinasi dengan Politeknik Kelautan dan Perikanan (Politeknik KP Sorong), UPT Kementerian Kelautan dan Perikanan di Kota Sorong. Hasilnya, ikan coelacanth yang ditemukan berhasil diidentifikasi. Ikan itu memiliki hubungan kekerabatan dengan yang ditemukan di Manado.
“Berdasarkan analisis kekerabatan menunjukkan bahwa spesimen Raja Ampat adalah benar-benar ikan purba coelacanth dengan Genus Latimeria, Famili Latimeriidae, Ordo Coelacanthiformes, Kelas Sarcopterygii, Phylum Chordata,” kata Agus Darmawan.
Analisis juga menunjukkan pula bahwa grup besar coelacanth terbagi menjadi dua bagian, yaitu grup Afrika dengan grup Indonesia. Grup Indonesia terbagi lagi dalam dua subgrup yaitu Manado dan Raja Ampat. Spesimen Raja Ampat membentuk subgrup tersendiri yang terpisah cukup jauh dan signifikan dengan populasi Manado.
“Atas evidensi ini, kami menegaskan bahwa spesimen Raja Ampat adalah populasi beda. Populasi Raja Ampat masih berstatus new population, bukan spesies baru. Penulisan yang sah saat ini adalah Latimeria menadoensis (populasi Raja Ampat). Selanjutnya, untuk membuktikan bahwa populasi Raja Ampat sebagai spesies baru, dibutuhkan minimal spesimen utuh secara morfologi,” paparnya.
Untuk diketahui, jarak genetis evolutif antara populasi Raja Ampat dengan Manado-Sulawesi, lebih dari 1 persen. Hal ini mengindikasikan populasi Raja Ampat populasi tersendiri yang terpisah dengan populasi Manado sejak 6-8 juta tahun silam.
“Divergensi kedua populasi Sulawesi dengan Raja Ampat terjadi pada momentum geological event, saat awal mula terbentuknya kepulauan Indonesia. Sedangkan jarak genetis evolutif antara populasi Raja Ampat dengan Latimeria chalumnae, lebih dari 3 persen atau setara dengan periode perpisahan antara 20-30 juta tahun,” paparnya.
Agus juga mengatakan, identifikasi ikan penting untuk tujuan saintifik, konservasi dan pariwisata. Sebaran geografis ikan coelacanth populasi Raja Ampat telah menambah khasanah peta sebaran ikan purba coelacanth di dunia dan di kepulauan Indonesia. Populasi dari Indonesia dapat ditemukan di perairan Manado-Sulawesi utara, Biak Papua dan Raja Ampat Papua Barat.
“Penemuan populasi coelacanth di Raja Ampat menjadi momentum untuk terus meningkatkan upaya perlindungan habitat, meningkatkan kesadaran manusia untuk menjaga lautan dan isinya,” ujarnya.
Sebelumnya, ikan ini hanya dikenal lewat rupa fosil yang dianggap telah punah menjelang akhir periode Cretaceous atau 66 juta tahun yang lampau. Akhirnya ditemukan spesimen hidup, spesies pertama pada Desember 1938 di Afrika Selatan.
Beberapa tahun kemudian, spesimen lainnya di West Indian Ocean ditemukan di Comoros, Kenya, Tanzania, Mozambique, Madagascar, Simangaliso Wetland Park dan Kwazulu-Natal di Afrika Selatan.
Spesies kedua ditemukan untuk pertama kalinya oleh Mark V Erdmann pada 1997, di pasar ikan Sulawesi Utara. Kemudian, spesimen kedua tertangkap lagi oleh nelayan pada 1998 yang selanjutnya dideskripsi sebagai jenis baru dengan nama Latimeria menadoensis, Pouyaud et al., 1999.
Kedua spesies ini termasuk kategori terancam. Saat ini African Coelacanth berstatus critically endangered sedangkan Sulawesi Coelacanth berstatus vulnerable.
Ikan coelacanth dapat hidup pada rentang umur antara 80-100 tahun, dapat tumbuh hingga 2 meter dan berat 90 kg. Ikan purba ini menempati ruang laut agak dalam hingga 700 meter, namum umumnya ditemukan pada kedalaman antara 90-200 meter.
Editor : Maria Christina
Artikel Terkait