JAKARTA, iNews.id - Kisah sedih pernah terjadi di tubuh TNI sekitar 1980-an menyusul perampingan yang dilakukan mulai dari Kodam hingga Kopassus. Detik-detik seorang Jenderal Kopassus menyaksikan ribuan anak buahnya menangis saat melepaskan baret merah kebanggaan menjadi momen yang tidak akan terlupakan.
Cerita sedih ini dialami Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan. Saat itu, dia menjabat sebagai komandan pertama Grup 3 Para Komando. Sejak awal, dia menentang keras ide perampingan di tubuh TNI, termasuk Kopassus oleh Jenderal TNI (Purn) Benny Moerdani, yang menjabat sebagai Panglima ABRI waktu itu.
Dengan lantang, dia berargumen dengan Jenderal TNI (Purn) Benny Moerdani. Sintong mencoba meyakinkan, biaya justru akan semakin boros jika perampingan dilakukan. Jumlah prajurit yang sedikit berarti harus mengadakan latihan yang lebih banyak agar dapat menyamai kekuatan prajurit berjumlah besar.
"Jadi, Bapak kalau nggak punya duit, jangan dikecilkan," kata Sintong saat itu, dikutip iNews.id dari buku Kopassus untuk Indonesia, Profesionalisme Prajurit Kopassus.
Argumen Sintong langsung dipatahkan. Jenderal TNI (Purn) Benny Moerdani menjawab tegas, perampingan tetap dilakukan. Model perampingan organisasi dilakukan dengan cara seleksi kepada seluruh prajurit Kopassus, termasuk dari anggota Brigif 3 Linud Kopassus.
Sintong masih mencoba menyampaikan berbagai argumentasi untuk mencegah pengurangan prajurit Kopassus. Tidak ada yang berhasil.
Perampingan di tubuh TNI termasuk Kopassus pada akhirnya tetap harus dilaksanakan. Salah satunya alih status Brigif 3 Linud Kopassus di Kariango menjadi Brigif Limud 3/Kostrad.
Ketika itu, seleksi dilaksanakan di Sukabumi pada 1986. Anggota Kopassus kembali menjalani ujian di medan berat untuk diukur kemampuan fisik, mental, dan kecerdasannya. Tes dilakukan satu-satu dan didampingi psikiater. Latihan patroli malam hari juga dilakukan.
Hari pertama tes, hasilnya masih bagus. Hari kedua, mulai ada prajurit yang mengantuk. Hari ketiga bahkan lebih banyak lagi yang mengantuk. Pada hari ketiga itu, prajurit Kopassus yang diseleksi diminta tidur sendiri-sendiri dan diberi tahu akan kembali berangkat pukul 03.00 dini hari.
Hasilnya, ada prajurit yang bangun, tapi ada juga yang terus tidur seharian. Tes ini untuk mengukur tanggung jawab para prajurit. Namun, hanya sekitar 2.500 orang yang lulus dari sekitar 6.400 prajurit setelah melewati berbagi tes selama seminggu.
Para prajurit yang lulus tentu saja tetap boleh mengenakan baret merah dan tinggal di Jakarta. Sementara yang tidak lulus ditempatkan dalam kesatuan baret hijau Kostrad.
Sintong mengaku ingin menangis karena ternyata banyak prajurit Kopassus harus keluar.
"Saya rasanya mau menangis karena banyak orang yang baru masuk Kopassus harus keluar," kata Sintong.
Aksi Protes dari yang Tidak Lolos Seleksi
Tidak hanya Sintong yang tidak setuju atas perampingan dan hasil seleksi tersebut. Para prajurit Kopassus yang akhirnya tidak lolos pun protes. Pergantian baret tersebut sempat diwarnai aksi melepaskan sejumlah tembakan dari prajurit yang tidak lolos.
Bahkan, saat itu ada beberapa prajurit yang harus berurusan dengan Polisi Militer akibat aksi protesnya itu.
Setelah proses seleksi, upacara pergantian baret dilaksanakan di kesatrian Kariango dan berlangsung dengan penuh haru. Saat acara timbang terima, semua berdiri mengenakan baret merah.
Setelah upacara, semua bergantian menundukkan kepala. Mereka mengambil baret hijau dan mengganti baret merah yang dipakai di kepala.
Sintong lagi-lagi tak mampu menahan kesedihannya. Dia tidak tega melihat prajurit yang dia sebut anak-anak yang sangat dia sayangi itu, harus melepaskan baret merah kebanggaan mereka.
"Saya sedih sekali. Anak-anak buah ini betul-betul saya sayangi. Tetapi, negara mengatakan ini harus dilaksanakan. Ini kan orang-orang baik semua," kata mantan Komandan Kopassus itu lirih.
Salah satu prajurit yang harus mencopot baret merahnya saat itu, Kolonel Inf Tarub. Dia pun terpilih menjadi komandan pertama Brigif Linud 3/Kostrad di Kariango.
Seperti Sintong, Taruf pun mengakui momen perampingan atau reorganisasi di Kopassus itu peristiwa yang tidak mudah. Saat dia sendiri sedih, dia juga harus menyemangati prajurit Kopassus yang beralih menjadi anggota Kostrad.
"Memang nggak gampang untuk jaga semangat mereka. Saya yakinkan mereka bahwa walaupun sekarang jadi prajurit Kostrad, tetapi tetap Kopassus. Tidak kenal menyerah, jiwa korsa. Tidak ada bedanya dengan Cijantung. Pokoknya saya kuatkan mereka," kata Letjen TNI (Purn) Tarub mengenang saat dirinya menguatkan anak buahnya dulu.
Sebagai Komandan Brigif Linud 3/ Kostrad, Tarub juga mengikuti prosesi pergantian baret. Momen mengharukan pun terjadi. Lulusan Akmil 1965 ini meminta izin Kepada Iry Sutrisno untuk berlutut ketika baret merahnya diganti menjadi baret hijau.
"Waktu baret merah saya diambil, diganti baret hijau, saya berlutut. Saya minta ke Pak Try bahwa dulu saya terima baret merah dengan berlutut di Pantai Selatan. Jadi ini kalau dilepas, saya maunya sambil berlutut juga," kata Tarub.
Permintaannya disetujui Try Sutrisno. Mantan Komandan Kopassus itu juga mengenang kepedihannya saat prosesi pergantian baret di Kariango. Banyak prajurit Kopassus yang menangis karena tak lagi memakai baret merah kebanggaannya.
"Banyak yang menangis. Luar biasa. Saya bilang, baret itu nggak masalah, yang penting ada di sini (menunjuk dada). Bagaimana semangat jiwa kita di situ, kita semangat, kita Kopassus. Selalu saya semangati mereka. Saya buat jargon-jargon, kokoh seperti batu karang, misalnya," kata Tarub.
Tarub yang menjadi Komandan Brigif Linud 3/Kostrad saat itu juga terus menggali semangat dan membangun kebanggaan anak buahnya yang tak lagi menjadi personel Kopassus. Salah satunya melalui sarana olahraga sepak bola dan voli. Dia ingin membuat anak buahnya tetap gembira dengan menyalurkan energi pada hal-hal positif.
"Pokoknya kamu latihan, kalahkan mereka. Itu perintah saya. Jadi itu jadi motivasi, semangat mereka. Pokoknya saya buat gembira aja semua. Satu nasib, sepenanggungan," kata Tarub.
Editor : Maria Christina
Artikel Terkait