Kisah Luhut Prajurit Hebat di Kopassus tapi Tak Pernah Jadi Pangdam, Ternyata Ini Penyebabnya

JAKARTA, iNews.id - Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan dikenal sebagai prajurit hebat di Kopassus sebelum berkiprah di kabinet. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) ini dikenal punya karier cemerlang di militer.
Meski punya karier hebat selama di TNI, anehnya Luhut tidak pernah menjadi Kasdam atau Pangdam. Belakangan, jenderal lulusan terbaik Akademi Militer 1970 itu mengungkapkan penyebabnya.
Luhut mengaku sebagai orang dekat Jenderal TNI (Purn) Benny Moerdani. Dia kerap dipanggil dan diajak berbincang oleh Benny di kantornya semasa menjadi perwira Kopassandha yang kini disebut Kopassus.
Dia mengenal Benny Moerdani saat berpangkat mayor. Saat itu, Luhut belum dikirim belajar antiteror di GSG-9, Jerman Barat bersama Kapten Inf Prabowo Subianto. Walaupun Benny berpangkat Letjen dan menjabat Asintel Hankam/ABRI waktu itu, dia selalu minta Luhut memberikan laporan kemajuan sekolah kami.
"Dia tidak malu menelepon saya dan mengajukan pertanyaan yang mendetail,” kata Luhut dalam postingan di media sosial miliknya, dikutip Jumat (17/9/2021).
Setelah Luhut pulang dari Jerman, dia dipercaya memimpin pasukan antiteror pertama di Indonesia, yakni Datasemen 81 Kopassus. Interaksinya dengan jenderal ahli intelijen bernama lengkap Leonardus Benjamin Moerdani itu pun semakin intensif.
Benny kerap memanggil Luhut menghadap ke kantornya di Jalan Sahardjo. Mereka kerap berbincang sehingga Luhur mendapatkan kesan khusus mengenai karakter Benny Moerdani.
Menurut Luhut, Benny memiliki karakter yang sangat kuat. Auranya memancarkan wibawa ditambah dengan wajahnya yang keras dan jarang tersenyum. Loyalitas Benny kepada pimpinan negara dan NKRI tidak perlu dipertanyakan lagi.
Lulusan Adhi Makayasa ini bercerita, suatu ketika dia mendapat penugasan memimpin operasi khusus pengamanan Presiden Soeharto dalam KTT ASEAN di Manila, Filipina. Benny saat itu telah menjabat Panglima ABRI.
Benny memanggilnya sehari sebelum penugasan itu. Jenderal yang pernah terjun dalam operasi pembebasan Irian Barat itu berkata dengan dingin.
“Luhut, sejak dua atau tiga tahun lalu, sudah banyak yang antre untuk menggantikan saya, tetapi orang ini (menunjuk foto Soeharto di dinding), kalau terjadi sesuatu pada dirinya, republik itu menjadi kacau. Jadi Luhut, taruhan keselamatan Pak Harto adalah lehermu,” kata Benny ditirukan Luhut.
Rupanya interaksi yang intensif dengan jenderal Baret Merah kelahiran Cepu, Jawa Tengah itu marah. Benny lama-lama membuat Luhut risih. Luhut menyadari seorang perwira menengah yang kerap dipanggil Panglima ABRI tentu akan membuat banyak senior tidak senang, bahkan mungkin iri kepadanya.
Apalagi, Benny selalu mengajaknya berdiskusi berjam-jam. Suatu hari ketika dipanggil lagi, Luhut memberanikan diri untuk bertanya. Namun, itu pun setelah dia melihat atasannya itu terlihat sedang dalam kondisi mood yang bagus.
“Pak, mohon izin, lain kalai kalau memanggil saya bisakah melalui atasan saya?” kata Luhut.
Perkataan Luhut membuat tampaknya tidak senang. Raut wajahnya langsung mengeras dan tangannya menyapu meja. Benny marah. Bahkan, dia mengingatkan perbedaan pangkat mereka berdua kepada Luhut.
“Luhut, saya jenderal bintang empat dan kamu letkol!"
“Siap!,” kata Luhut yang menyesali pertanyaannya.
Sejak itu pula, dia mengaku tidak berani menanyakan lagi perihal tersebut. Yang jelas, kedekatan dengan Benny membawa dampak terhadap Luhut.
Beberapa tahun setelah Pangab ini pensiun, Luhut mengaku menerima konsekuensi telah menjadi golden boy alias anak emas Benny. Meski dia dikenal sebagai prajurit hebat, dia tidak pernah ditunjuk sebagai Kasdam atau Pangdam.
“Saya terima itu dengan besar hati. Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam. Bagi saya itu harus bayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus dan saya bangga mampu menjalankan nilai-nilai yang diturunkan oleh Pak Benny kepada saya,” tuturnya.
Luhut mendapat banyak pelajaraan mengenai kepemimpinan dan kemiliteran yang dipelajari dari senior yang dikaguminya itu. Karena Benny pula, dia tertarik pada masalah-masalah intelijen, antara lain memelihara jaringan dengan berbagai tokoh di dunia.
Editor: Maria Christina