Kisah lainnya tak kalah mengoyak nurani suami dari Nuraeni Yuliana Rapar. Kala itu, dia akan menjemput salah satu pasien atau warga Distrik Jayapura Selatan, yang sedang bertamu di keluarganya di salah satu kawasan perumahan di Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura.
Warga ini dinyatakan reaktif setelah mengikuti tes cepat. Karena itu, warga harus diisolasi mandiri di salah satu hotel ternama di Kota Jayapura yang telah ditunjuk oleh Gugus Tugas Covid-19. Ketika warga melihat petugas yang datang dengan pakaian lengkap atau alat pelindung diri (APD) guna penanganan pasien corona, sempat terjadi keributan.
Aiptu Naufal sempat mengira akan ada perlawanan terhadap Tim URC. Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Warga sekitar mengecam pasien tersebut dengan kata atau kalimat yang kurang pantas di hadapan tim dan disaksikan sejumlah sanak keluarga.
“Kami melihat bahwa amarah warga seperti sanksi sosial yang diberikan kepada pasien corona, padahal siapa saja bisa terjangkit virus ini. Pasien itu sebenarnya tidak tahu kalau dia terjangkit, tapi mau bagaimana kami sebagai petugas harus menjemputnya sesuai protap agar penyebaran virus tidak meluas,” katanya.
Hal yang tak kalah sedih lainnya, ketika hendak pulang ke rumah usai melaksanakan tugas kemanusiaan tersebut. Perasaan khawatir terus menghantui jika dirinya menjadi pembawa virus bagi keluarga yang menanti dengan cemas.
Untuk mengantisipasi hal itu, Aiptu Naufal dan kawan-kawan yang tergabung dalam Tim URC harus membersihkan diri atau mandi di kantor. Mereka juga meminta tolong kepada anak atau saudara di rumah agar datang membawa pakaian ganti ke kantor. Setelah itu, mereka baru bisa kembali ke rumah dengan wajah lelah.
“Ketika sampai di depan rumah, saya pun harus cuci tangan dan kembali mandi lagi guna memastikan tidak membawa virus kepada keluarga. Padahal anak-anak dan istri biasanya menyambut dengan senyuman dan pelukan, tapi sejak bertugas di Tim URC, ini tak dilakukan lagi,” katanya.
Dia juga menaruh simpati pada pasien dan keluarganya yang dilayani. Ketika itu mereka bersama Tim UP2KP dari Provinsi Papua hendak mengambil jenazah pasien corona, tetapi dilema. Sebab, aparat tingkat RT/RW saja dilarang mengambil pasien oleh keluarganya.
Di sisi lain aparat-aparat RT/RW juga ketakutan untuk menanganinya. Sebagai anggota Tim URC, mereka harus bisa meyakinkan keluarga dan warga setempat, agar pasien tersebut dirawat di rumah sakit terdekat yaitu Rumah Sakit Bhayangkara.
“Inilah konsekuensi tugas. Di antara rekan-rekan lainnya, saya yang berlatar belakang Binmas harus bisa memberikan pemahaman dan pencerahan soal penanganan pasien corona, caci maki itu sudah menjadi santapan saya tiap kali ke TKP bersama rekan-rekan. Namun, semua itu kami hadapi dengan ikhlas karena ini tugas kemanusiaan,” katanya.
Editor : Maria Christina
Artikel Terkait