Asal Usul Suku Asmat, Kisah Patung Kayu Hidup Mengikuti Irama Tifa
Bagi masyarakat suku Asmat, meninggalnya seseorang tak disebabkan oleh hal-hal alami, melainkan dikarenakan roh jahat yang mengganggu dan menyebabkan orang tersebut mati. Masyarakat suku Asmat percaya bahwa anggota keluarga mereka yang sedang sakit harus dibuatkan pagar dari dahan pohon nipah.
Pagar tersebut bertujuan supaya roh jahat yang berada di sekitar mereka pergi dan tidak mendekat kembali. Orang-orang suku Asmat juga akan berkerumun di sekeliling orang yang sakit meski tidak mengobati atau memberinya makan.
Setelah orang yang sakit meninggal, mereka akan berebut untuk memeluk dan menggulingkan badan di lumpur. Mayat tersebut selanjutnya akan diletakkan di atas para atau anyaman bambu hingga membusuk.
Kemudian tulang belulangnya akan disimpan di atas pokok kayu dan tengkoraknya akan dijadikan bantal sebagai simbol kasih sayang terhadap kerabat mereka.
Ada pula yang meletakkan mayat di atas perahu lesung dengan disertai sagu dan dibiarkan terombang-ambing di laut. Selain itu, mayat terkadang dikuburkan dengan ketentuan laki-laki tanpa busana dan perempuan mengenakan busana.
Mayat tersebut akan dikubur di hutan, tepi sungai maupun semak-semak. Selanjutnya orang yang meninggal akan dibuatkan ukiran yang disebut mbis karena suku asmat percaya jika roh orang mati masih berkeliaran di sekitar rumah mereka.
Mbis merupakan ukiran patung tonggak nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal. Upacara adat Suku Asmat ini bermakna supaya mereka selalu ingat kepada kerabat yang telah meninggal.
Jika kematian tersebut karena dibunuh, mereka akan membalaskan dendam dengan membunuhnya juga.
Tsyimbu merupakan upacara pembuatan dan pengukuhan rumah lesung atau perahu yang diadakan lima tahun sekali. Perahu ini akan diwarnai dengan warna merah dan putih secara berseling di bagian luar dan berwarna putih di bagian dalam.
Selain itu, perahu juga akan diukir dengan gambar keluarga yang telah meninggal serta gambar binatang dan lain sebagainya.
Perahu tersebut juga akan dihias dengan sagu. Namun, sebelumnya, keluarga besar akan berkumpul di rumah kepala suku atau adat untuk melakukan pertunjukkan nyanyian dan tarian diiringi tifa.
Para pendayung tersebut menggunakan hiasan cat berwarna merah putih dengan aksesoris bulu-bulu burung. Upacara adat ini sangat ramai dengan sorak sorai anak-anak dan perempuan.
Ada pula yang menangis karena mengenang kerabat mereka yang meninggal. Tradisi zaman dahulu menggunakan perahu-perahu tersebut untuk melakukan provokasi terhadap musuh agar berperang.
Namun seiring perkembangan zaman, fungsinya berubah menjadi pengangkut makanan.
Suku asmat memberi nama rumah bujang sesuai marga pemiliknya. Rumah bujang merupakan bangunan yang bisa digunakan untuk kegiatan religius maupun non religius. Selain itu, rumah ini juga difungsikan untuk berkumpul keluarga.
Namun dalam kondisi tertentu, contohnya saat penyerangan, perempuan dan anak-anak tidak diperbolehkan masuk.
Rumah Adat Suku Asmat
Masyarakat suku Asmat tersebar di daerah pedalaman hingga pesisir pantai. Mereka tinggal di rumah tradisional bernama Jeu. Rumah ini berukuran 25 meter. Selain itu, beberapa penduduk asmat lain juga tinggal di rumah yang dibangun di atas pohon.
Tarian adat suku Asmat yang terkenal, yakni tari tobe atau tarian perang. Dulunya tarian ini hanya dilakukan saat ada perintah dari kepala suku untuk berperang.
Seiring dengan adanya modernisasi, tarian ini digunakan untuk menyambut tamu yang akan datang. Tarian tobe dilakukan dengan nyanyian yang mengobarkan semangat serta tabuhan tifa.
Para penari tersebut akan mengenakan manik-manik dada, rok dari akar bahar serta daun-daun yang diselipkan di tubuh mereka. Penggunaan bahan alam sebagai simbol jika suku Asmat memiliki hubungan erat dengan alam.
Masyarakat suku Asmat menuturkan bahasa yang termasuk dalam kelompok Language Of The Southern Division, yaitu bahasa yang digolongkan oleh ahli linguistik sebagai bahasa bagian selatan Papua.
Penggolongan bahasa tersebut dipelajari oleh C. L. Voorhoeve pada 1965 dan masuk dalam kelompok bahasa Papua Non Melanesia. Bahasa asmat digolongkan berdasarkan wilayah tinggalnya, yaitu pantai, hilir dan hulu sungai.
Editor: Kurnia Illahi