get app
inews
Aa Text
Read Next : Gempa Hari Ini M4,3 Guncang Jayapura Papua

Asal Usul Suku Asmat, Kisah Patung Kayu Hidup Mengikuti Irama Tifa

Senin, 15 Agustus 2022 - 14:23:00 WIT
Asal Usul Suku Asmat, Kisah Patung Kayu Hidup Mengikuti Irama Tifa
Suku Asmat membawakan tarian pukul tifa pada Festival Budaya Suku Asmat ke-27 di Kabupaten Asmat, Papua. (Foto: Antara).

JAKARTA, iNews.id - Suku Asmat merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Papua bagian selatan. Wilayah ini diapit oleh Kabupaten Merauke, Mappi, Mimika, Yahukimo dan Nduga. 

Populasinya terbagi dua, yaitu mereka yang hidup di pesisir pantai dan pedalaman serta memiliki perbedaan dalam hal cara hidup, struktur sosial dan ritual. 

Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayu tradisional sangat khas. Beberapa ornamen atau motif yang sering kali digunakan untuk menjadi tema utama dalam proses pemahatan patung diambil dari tema nenek moyang dari suku mereka yang biasa disebut mbis. 

Namun, sering kali juga ditemui ornamen atau motif lain yang menyerupai perahu atau wuramon yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah membawa nenek moyang mereka di alam kematian. 

Bagi penduduk asli Suku Asmat, seni ukir kayu lebih merupakan perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.

Sejarah asal usul suku Asmat

Suku ini dipercaya berasal dari Fumeripits atau manusia pertama di tanah Asmat. Munculnya suku Asmat berkaitan dengan cerita mitologi yang berkembang di daerah tersebut. 

Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat setempat, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tak sadarkan diri. Kemudian nyawanya diselamatkan sekelompok burung. Akhirnya, dia kembali pulih dan hidup sendiri di daerah baru. 

Karena kesepian, dia mulai membangun rumah panjang yang diisi dengan patung hasil karya ukirannya. Namun, dia masih merasa kesepian. 

Dia kemudian membuat tifa yang ditabuhnya setiap hari. Tiba-tiba, patung kayu yang dibuatnya bergerak mengikuti irama tifa yang dimainkannya, sungguh suatu keajaiban.

Patung-patung itu kemudian mulai berubah wujud menjadi manusia hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kaku dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. 

Sejak itu, Fumeripits terus mengembara. Di setiap daerah yang disinggahinya, dia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia - manusia baru yang menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini.

Perbedaan dan persamaan pada sub etnis suku Asmat

Informasi yang dihimpun dari penghubung.papua.go.id, suku Asmat terbagi menjadi dua, yaitu suku yang tinggal di pesisir pantai dan suku yang tinggal di wilayah pedalaman. Mereka memiliki pola hidup, cara berpikir, struktur sosial dan keseharian yang berbeda, terlihat dari mata pencaharian mereka. 

Suku Asmat yang tinggal di pedalaman memiliki pekerjaan sebagai pemburu dan petani kebun. Sedangkan, suku Asmat yang tinggal di daerah pesisir memilih menjadi nelayan. 

Kesamaannya, terdapat pada ciri fisik. Suku Asmat rata-rata memiliki tinggi 172 sentimeter untuk laki-laki dan 162 sentimeter untuk perempuan. Kulit mereka umumnya hitam dengan rambut keriting. Kesamaan ini karena mereka masih satu keturunan dengan warga Polynesia. 

Tempat tinggal suku Asmat 

Suku Asmat tersebar mulai dari pesisir pantai Laut Arafuru hingga pegunungan Jayawijaya. Secara keseluruhan, mereka menempati Kabupaten Asmat yang membawahi tujuh kecamatan. Kabupaten Asmat yang memiliki wilayah yang sangat luas sehingga membuat jarak satu kampung dengan kampung atau kecamatan lainnya menjadi sangat jauh. 

Terlebih lagi, kontur tanahnya rawa-rawa sehingga perjalanan satu kampung ke kampung lainnya memakan waktu 1-2 jam dengan berjalan kaki.

Adat istiadat

Sampai saat ini, masyarakat Suku Asmat masih memegang erat adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Hukum adat tersebut selalu diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari, di antaranya yaitu:

Tradisi saat hamil

Saat perempuan Asmat sedang hamil, mereka akan sangat dijaga oleh keluarganya. Perempuan hamil akan diperlakukan dengan lebih baik hingga persalinan bisa dilakukan dengan lancar dan bayi lahir sehat dengan selamat.

Proses kelahiran

Setelah bayi lahir, akan diadakan upacara selamatan pemotongan tali pusar dengan bantuan sembilu yang terbuat dari bambu diruncingkan. Bayi akan disusui oleh ibunya sampai usia 2 -3 tahun.

Proses pernikahan

Pernikahan Suku Asmat hanya bisa dilakukan saat seseorang telah berusia 17 tahun atau lebih. Pernikahan juga dilakukan setelah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. Terdapat pula kebiasaan menguji keberanian para laki-laki dengan cara membeli wanita menggunakan piring antik.

Mumi suku Asmat

Dalam kebudayaan Suku Asmat dikenal adanya tradisi mengawetkan jasad orang yang telah meninggal atau dikenal dengan mumifikasi. Namun, ini hanya berlaku untuk kepala suku atau kepala adat. 

Jasad pemimpin adat yang telah dijadikan mumi kemudian akan dipajang di depan rumah adat suku Asmat.

Upacara adat

Sama seperti suku lainnya yang ada di Indonesia, tradisi dan kepercayaan masyarakat asmat juga diungkapkan melalui upacara adat. 

Berikut upacara-upacara tradisional suku Asmat :

Ritual kematian

Bagi masyarakat suku Asmat, meninggalnya seseorang tak disebabkan oleh hal-hal alami, melainkan dikarenakan roh jahat yang mengganggu dan menyebabkan orang tersebut mati. Masyarakat suku Asmat percaya bahwa anggota keluarga mereka yang sedang sakit harus dibuatkan pagar dari dahan pohon nipah.

Pagar tersebut bertujuan supaya roh jahat yang berada di sekitar mereka pergi dan tidak mendekat kembali. Orang-orang suku Asmat juga akan berkerumun di sekeliling orang yang sakit meski tidak mengobati atau memberinya makan. 

Setelah orang yang sakit meninggal, mereka akan berebut untuk memeluk dan menggulingkan badan di lumpur. Mayat tersebut selanjutnya akan diletakkan di atas para atau anyaman bambu hingga membusuk. 

Kemudian tulang belulangnya akan disimpan di atas pokok kayu dan tengkoraknya akan dijadikan bantal sebagai simbol kasih sayang terhadap kerabat mereka.

Ada pula yang meletakkan mayat di atas perahu lesung dengan disertai sagu dan dibiarkan terombang-ambing di laut. Selain itu, mayat terkadang dikuburkan dengan ketentuan laki-laki tanpa busana dan perempuan mengenakan busana. 

Mayat tersebut akan dikubur di hutan, tepi sungai maupun semak-semak. Selanjutnya orang yang meninggal akan dibuatkan ukiran yang disebut mbis karena suku asmat percaya jika roh orang mati masih berkeliaran di sekitar rumah mereka.

Upacara mbismbu

Mbis merupakan ukiran patung tonggak nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal. Upacara adat Suku Asmat ini bermakna supaya mereka selalu ingat kepada kerabat yang telah meninggal. 

Jika kematian tersebut karena dibunuh, mereka akan membalaskan dendam dengan membunuhnya juga.

Upacara tsyimbu

Tsyimbu merupakan upacara pembuatan dan pengukuhan rumah lesung atau perahu yang diadakan lima tahun sekali. Perahu ini akan diwarnai dengan warna merah dan putih secara berseling di bagian luar dan berwarna putih di bagian dalam. 

Selain itu, perahu juga akan diukir dengan gambar keluarga yang telah meninggal serta gambar binatang dan lain sebagainya.

Perahu tersebut juga akan dihias dengan sagu. Namun, sebelumnya, keluarga besar akan berkumpul di rumah kepala suku atau adat untuk melakukan pertunjukkan nyanyian dan tarian diiringi tifa.

Para pendayung tersebut menggunakan hiasan cat berwarna merah putih dengan aksesoris bulu-bulu burung. Upacara adat ini sangat ramai dengan sorak sorai anak-anak dan perempuan. 

Ada pula yang menangis karena mengenang kerabat mereka yang meninggal. Tradisi zaman dahulu menggunakan perahu-perahu tersebut untuk melakukan provokasi terhadap musuh agar berperang. 

Namun seiring perkembangan zaman, fungsinya berubah menjadi pengangkut makanan.

Upacara yentpokmbu

Suku asmat memberi nama rumah bujang sesuai marga pemiliknya. Rumah bujang merupakan bangunan yang bisa digunakan untuk kegiatan religius maupun non religius. Selain itu, rumah ini juga difungsikan untuk berkumpul keluarga. 

Namun dalam kondisi tertentu, contohnya saat penyerangan, perempuan dan anak-anak tidak diperbolehkan masuk.

Rumah Adat Suku Asmat

Masyarakat suku Asmat tersebar di daerah pedalaman hingga pesisir pantai. Mereka tinggal di rumah tradisional bernama Jeu. Rumah ini berukuran 25 meter. Selain itu, beberapa penduduk asmat lain juga tinggal di rumah yang dibangun di atas pohon.

Tari dan alat musik tradisional

Tarian adat suku Asmat yang terkenal, yakni tari tobe atau tarian perang. Dulunya tarian ini hanya dilakukan saat ada perintah dari kepala suku untuk berperang.

Seiring dengan adanya modernisasi, tarian ini digunakan untuk menyambut tamu yang akan datang. Tarian tobe dilakukan dengan nyanyian yang mengobarkan semangat serta tabuhan tifa.

Para penari tersebut akan mengenakan manik-manik dada, rok dari akar bahar serta daun-daun yang diselipkan di tubuh mereka. Penggunaan bahan alam sebagai simbol jika suku Asmat memiliki hubungan erat dengan alam.

Bahasa suku Asmat

Masyarakat suku Asmat menuturkan bahasa yang termasuk dalam kelompok Language Of The Southern Division, yaitu bahasa yang digolongkan oleh ahli linguistik sebagai bahasa bagian selatan Papua.

Penggolongan bahasa tersebut dipelajari oleh C. L. Voorhoeve pada 1965 dan masuk dalam kelompok bahasa Papua Non Melanesia. Bahasa asmat digolongkan berdasarkan wilayah tinggalnya, yaitu pantai, hilir dan hulu sungai.

Editor: Kurnia Illahi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut