Jenderal TNI Ini Pernah Jadi Penjudi gegara Gaji Kecil, Berhenti setelah Istri Minta Temui Soekarno
JAKARTA, iNews.id - Kesejahteraan TNI mendapat perhatian pada 2021 lalu dan jadi salah satu pekerjaan rumah (PR) bagi Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Ternyata kesejahteraan ini sudah jadi persoalan sejak zaman Presiden Soekarno.
Seorang jenderal TNI berkisah, pernah terjebak dalam dunia judi gara-gara gajinya kecil. Dia adalah Kemal Idris yang dikenal sebagai jenderal loyalis Soeharto dan pemberang.
Ceritanya berawal saat Kemal Idris baru pulang dari Kongo. Dia ditugaskan selama delapan bulan di sana memimpin Pasukan Garuda III. Dia dan pasukannya diperintahkan kembali pada bulan Agustus 1963, lengkap dengan peralatan.
Pulang ke Indonesia, Kemal Idris ternyata tidak langsung ditugaskan. Saat itu harga kebutuhan hidup mahal sedangkan gajinya kecil. Uang itu sangat diharapkan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, tetapi tidak cukup. Dia pun berang.
"Setelah kembali dari Kongo, saya tidak langsung ditugaskan, tetapi tetap istirahat di rumah. Saya tidak bekerja, gaji kecil, sedangkan harga barang sangat mahal," kata Kemal Idris dikutip iNews.id dari autobiografinya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi, Selasa (18/1/2022).
Kemal Idris pun memutar otak. Dia tahu, harus berusaha mencari tambahan penghasilan. Dia melakukan berbagai pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Salahnya, yang dia pilih jadi penjudi.
"Saya main judi untuk memperoleh uang. Kami main judi di rumah, sehingga saya dapat uang tong. Kalau main judi di rumah, sebagian uang tarikan itu diberikan kepada tuan rumah. Kalau saya menang bermain judi, maka sebagian uang saya berikan kepada istri saya," katanya.
Suatu hari, Kemal Idris sadar dan bertanya pada diri sendiri. Kenapa dia harus bermain judi untuk menambah penghasilan?
Apalagi, gara-gara masalah ekonomi itu, dia sering marah dan naik pitam. Kemal Idris sering membentak anaknya yang masih duduk di SMP.
Sang istri, Herwinoer Bandriani Singgih atau Winoer Idris, ternyata memperhatikan perubahan yang terjadi padanya. Suatu hari, dia memanggil Kemal Idris.
"Kemal, duduklah. Saya mau bicara. Akhir-akhir ini saya perhatikan kamu marah-marah tanpa sebab. Bahkan kamu suka membentak-bentak. Itu bukan kebiasaan kamu," kata Winoer Idris kepada suaminya.
"Bagaimana saya tidak marah? Masa saya harus hidup dari main judi. Itu kan tidak benar. Keadaan sekarang sudah tidak benar," jawab Kemal Idris.
Mendengar alasannya, Winoer Idris menegurnya dengan keras. Dia menyebut keadaan yang mereka hadapi, hidup susah saat itu, merupakan konsekuensi dari sikap Kemal Idris.
Winoer Idris melanjutkan, jika memang sudah tidak tahan dengan keadaannya, Kemal Idris harus segera pergi ke Istana menemui Presiden Soekarno.
Kemal Idris diketahui sebagai salah satu yang kurang disukai Soekarno sehingga kariernya tersendat. Ini juga terkait dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu, Kemal Idris yang berpangkat Mayor dan menjabat sebagai Komandan Resimen ke-7 Divisi Siliwangi, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana.
Winoer Idris mengingatkan, jika ternyata Kemal ke Istana, dia tidak akan menghormatinya lagi seumur hidup.
"Setelah itu pasti hidup kita akan baik. Kalau ternyata hal itu kamu lakukan, saya tidak akan respek pada kamu seumur hidup saya," kata istri Kemal Idris.
Kata-kata sang istri membuat Kemal Idris tersadar. Dia mengaku saat itu sungguh-sungguh tercenung mendengar ucapan istrinya. Sebab, dia diingatkan pada suatu sikap dan prinsip yang dia jalani selama ini. Dia pun malu.
"Saya merasa malu. Saya insaf. Saya menyadari kekeliruan saya," katanya.
Mata Kemal Idris akhirnya terbuka melihat kenyataan yang ada di sekeliling. Semangat barunya bangkit. Dia pun memutuskan untuk meninggalkan dunia judi.
"Saya berjanji tidak akan main judi lagi," ujarnya.
Saat itu, istrinya membantu menambah biaya rumah tangga dengan menjual koran bekas dan botol kepada tukang loak yang lewat di depan rumah.
Kemal Idris yang telah tersadar kemudian mulai mencurahkan perhatian untuk membaca buku mengisi waktu yang kosong. Dia berkeinginan meneruskan studi atas saran teman saya yang menjadi dosen di Seskoad dan Unpar Bandung, bahkan telah diterima di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (UI).
Lalu suatu hati, sebelum sempat mengikuti kuliah, utusan Soeharto, Kolonel Suwardoyo mendatanginya. Dia mendapat tawaran dari Soeharto yang berpangkat Mayjen dan menjabat Panglima Kostrad, untuk bergabung dengannya.
"Pak Harto menanyakan apakah Pak Kemal bersedia bergabung ke Kostrad untuk menggantikan kedudukan Brigjen Rukman," kata Suwardoyo.
Kemal Idris tidak langsung menerimanya. Dia masih berang karena dulu dia ingin bergabung ke Kostrad, tapi permintaannya ditolak Soeharto. Meski masih menginginkannya, dia juga tidak langsung percaya mendapat tawaran itu.
"Saya merasa khawatir, jangan-jangan permintaan itu hanya isapan jempol saja," ucapnya.
"Saya masih seorang prajurit. Kalau pimpinan Angkatan Darat memerintahkan saya masuk Kostrad, pasti saya laksanakan dengan senang hati. Kalau saya memang dikehendaki di Kostrad, uruslah perintah itu," kata Kemal Idris.
Kemal Idris mengatakan, pada awal Januari 1964, dia diperintahkan bergabung dengan Kostrad. Beberapa hari kemudian dia melapor kepada Soeharto. Selanjutnya diadakan serah terima tugas dari Rukman kepada Kemal Idris dalam upacara resmi. Sementara Rukman dimutasi menjadi panglima di Makassar.
Setelah serah terima tugas, seminggu kemudian Kemal Idris mendapat perintah menghadap Soeharto. "Dulu waktu di Seskoad saya mau pindah ke Makassar. Saya dipersiapkan menjadi wakilnya sewaktu Dwikora, tetapi kemudian dia tolak. Tetapi setelah itu dia senang saya berada di Kostrad," kata Kemal Idris.
Mendapat tugas baru, Kemal Idris berusaha mempelajari sosok Mayjen Soeharto. Dia ingin bisa segera menyesuaikan diri.
"Sudah menjadi sifat saya, setiap kali pindah tugas selalu mempelajari sosok komandan saya. Saya ingin mengenalnya terlebih dulu. O, maunya begini, maka saya kemudian menyesuaikan diri. Mungkin itulah sebabnya saya menjadi kepercayaan dia," katanya.
Kemal Idris mengakui, wataknya yang selalu suka terbuka dan kadang-kadang blak-blakan. Bahkan, kalau tidak setuju kepada Soeharto, dia akan menyampaikan kepadanya secara empat mata.
"Dia tidak suka dikritik di depan forum. Tetapi, bukan berarti Pak Harto tidak suka dikritik. Misalnya di suatu rapat staf saya duduk di dekatnya. Dia menoleh kepada saya. Usai rapat dia memanggil saya," katanya.
Kemal Idris saat itu menjadi Panglima Kopur II/Caduad pada 1964–1965. Dia juga dipercaya menjadi Kepala Staf Kostrad (1965–1967), Panglima Kostrad (1967–1969). Karier terakhirnya menjabat panglima Komando Wilayah Pertahanan IV/Sulawesi (Pangkowilhan) dengan pangkat letnan jenderal pada 1969–1972. Kemal Idris meninggal dalam usia 87 tahun, pada 28 Juli 2010.
Editor: Maria Christina