Kisah Desmon Tutu, Pastor Penentang Apartheid dan Penjajahan Israel di Palestina
Pada kesempatan konferensi di Boston, pria yang mendapat penghargaan Nobel perdamaian tahun 1984 itu mengatakan: “Saya sungguh sangat sedih ketika mengunjungi Tanah Suci; apa yang saya lihat disana mengingatkan saya pada segala yang terjadi pada kami sendiri, orang kulit hitam di Afrika Selatan,” (Theguardian, 30 Desember 2021).
Bagi Desmond Tutu, perilaku Israel di Palestina sama jahatnya dengan sistem Apartheid di Afrika Selatan.
"Saya melihat dengan mata dan kepala sendiri, Israel telah menciptakan realiatas Apartheid di dalam perbatasannya dan di seluruh wilayah penjajahannya. Itu sama dengan negeri tercinta saya, Afrika Selatan; sungguh sangat kejam," begitu kata Tutu.
Tutu ingin Israel menghentikan dirinya sendiri dari tindakan apartheid, ketika apartheid telah hengkang dari Afrika Selatan.
Lima tahun kemudian, 1989, Desmond Tutu kembali datang ke Palestina. Dia menyampaikan bentuk solidaritasnya, saat peristiwa Intifada pertama meledak. Tutu disambut ribuah warga Palestina, baik yang beragama Kristen, muslim, maupun perwakilan gerakan perdamaian Israel.
Dia berbicara tentang kekerasan sistemik dan diskriminasi hukum. "Saya tidak bicara tentang Israel, saya bicara Afrika Selatan," ujar Tutu di tengah kerumunan saat itu (Thisweekinpalestine, Januari 2022).
Dari segi pemikiran, Desmond Tutu terinspirasi oleh Nelson Mandela, pejuang anti-apartheid. Bahkan, Tutu menyerukan boikot terhadap Israel melalui koran Tel Aviv Haaretz, 9 Agustus 2014.
Editor: Nur Ichsan Yuniarto